Rabu, 18 Januari 2012

suku biak ( papua )

PSIKOLOGI LINTAS BUDAYA
PAPUA ( SUKU BIAK )
Negara kita memiliki berbagai macam suku dan terbagi atas banyak wilayah.Suku-suku tersebut menduduki di tiap-tiap wilayah Indonesia. seperti jawa,suku batak,suku dayak,dan lain-lain. Diantaranya adalah suku-suku papua, mereka mempunyaikebiasaan dan kebudayaan yang berbeda-beda. sesuatu yang dianggap biasa pada salahsatu suku,belum tentu dianggap biasa pula pada suku yang lain meski pun wilayah yangmereka ditempati jaraknya berdekatan. Begitu pula dengan cara mereka bergaul danmenjalani kehidupan mereka sehari-hari. bahasa yang mereka pakai sehari-hari,Kepercayaan yang dianut, serta seni budaya yang ada pada tiap suku di papua belumtentu sama.Karena banyaknya perbedaan di berbagai hal,banyak suku-suku diindonesia yang terlibat perang yang di karenakan salah paham atau kurangnyakomunikasi. sehingga terjadi perselisihan pendapat,dan lain-lain. Untuk itu didalam karyaetnografi ini, saya akan mengangkat topik pembahasan mengenai kebudayaan daerahIrian Jaya dengan melihat salah satu suku budayanya yaitu suku Biak guna mengenalkansuku biak terhadap pembaca, dimana suku tersebut sebagai salah satu suku yang menarik  perhatian saya dan kebudayaan yang melekat pada suku Biak masih kuat sehinggamembuat saya ingin lebih menggali informasi seputar asal usul biak serta kebudayaandari suku biak itu sendiri. Manfaat dari karya etnogragi suku ini adalah sebagai salahsatu cara mengetahui tentang kebudayaan suku asli biak dalam hal unsur-unsur yangterkait dalam kebudayaan suku asli Biak-Numfor tersebut.
Lokasi
Letak dan Lingkungan Alam
.
Kepulauan Biak-Numfor adalah
salah satu kabupaten di Provinsi Papua
yangmerupakan

tempat asal dan tempat tinggal orang Biak terletak di sebelah utara Teluk Cenderawasih dan terdiri dari tiga pulau besar dan puluhan pulau-pulau kecil. Tiga pulau besar adalah Pulau Biak, Pulau Supiori dan Pulau Numfor. 
Sedangkan pulau-pulau kecil adalahgugusan Kepulauan Padaido, yang terdapat di sebelat timur Pulau Biak, Pulau-pulau Rani danInsumbabi yang terdapat di sebelah selatan Pulau Supiori, Pulau-pulau Meosbefandi dan Ayauyang terdapat di sebelah utara Pulau Supiori dan Kepulauan Mapia yang letaknya jauh di sebelahutara Pulau Ayau.


2.2Sejarah / Asal Mula Suku BIAK 

Nama dan Latar Belakang Sejarah

Pada waktu pemerintah Belanda berkuasa di daerah Papua hingga awaltahun 1960-an nama yang dipakai untuk menamakan Kepulauan Biak-Numfor adalahSchouten Eilanden, menurut nama orang Eropa pertama berkebangsaan Belanda, yang mengunjungi daerah ini pada awal abad ke17. Nama-nama lain yang sering dijumpaidalam laporan-laporan tua untuk penduduk dan daerah kepuluan ini adalah Numfor atau Biak.

Fonem w pada kata wiak sebenarnya berasal dari fonem v yang kemudian berubahmenjadi b sehingga muncullah kata biak seperti yang digunakan sekarang. Dua namaterakhir itulah kemudian digabungkan menjadi satu nama yaitu Biak-Numfor, dengantanda garis mendatar di antara dua kata itu sebagai tanda penghubung antara dua kata tersebut, yang dipakai secara resmi untuk menamakan daerah dan penduduk yangmendiami pulau-pulau yang terletak di sebelah utara Teluk Cenderawasih itu.
 Dalam percakapan sehari-hari orang hanya menggunakan nama Biak saja yang mengandung pengertian yang sama juga dengan yang disebutkan di atas.Tentang asal-usul nama serta arti kata tersebut ada beberapa pendapat.Pertama ialah bahwa nama Biak yang berasal dari kata v`iak itu yang pada mulanyamerupakan suatu kata yang dipakai untuk menamakan penduduk yang bertempat tinggaldi daerah pedalaman pulau-pulau tersebut. Kata tersebut mengandung pengertian orang-orang yang tinggal di dalam hutan,`orang-orang yang tidak pandai kelautan`, seperti misalnya tidak cakap menangkap ikan di laut, tidak pandai berlayar di laut danmenyeberangi lautan yang luas dan lain-lain. Nama tersebut diberikan oleh penduduk  pesisir pulau-pulau itu yang memang mempunyai kemahiran tinggi dalam hal-halkelautan. Sungguh pun nama tersebut pada mulanya mengandung pengertian menghinagolongan penduduk tertentu, nama itulah kemudian diterima dan dipakai sebagai namaresmi untuk penduduk dan daerah tersebut.Pendapat lain, berasal dari keterangan ceritera lisan rakyat berupa mite,yang menceritakan bahwa nama itu berasal dari warga klen Burdam yang meninggalkanPulau Biak akibat pertengkaran mereka dengan warga klen Mandowen. Menurut miteitu, warga klen Burdam memutuskan berangkat meninggalkan Pulau Warmambo (namaasli Pulau Biak) untuk menetap di suatu tempat yang letaknya jauh sehingga PulauWarmambo hilang dari pandangan mata. Demikianlah mereka berangkat, tetapi setiapkali mereka menoleh ke belakang mereka melihat Pulau Warmambo nampak di atas permukaan laut. Keadaan ini menyebabkan mereka berkata, v`iak wer`, atau `v`iak`,artinya ia muncul lagi. Kata v`iak inilah yang kemudian dipakai oleh mereka yang pergiuntuk menamakan Pulau Warmambo dan hingga sekarang nama itulah yang tetapdipakai (Kamma 1978:29-33).Kata Biak secara resmi dipakai sebagai nama untuk menyebut daerah dan penduduknya yaitu pada saat dibentuknya lembaga Kainkain Karkara Biak pada tahun1947 (De Bruijn 1965:87). Lembaga tersebut merupakan pengembangan dari lembagaadat kainkain karkara mnu yaitu suatu lembaga adat yang mempunyai fungsi mengatur kehidupan bersama dalam suatu komnunitas yang disebut mnu atau kampung.Penjelasan lebih luas tentang kedua lembaga itu diberikan pada pokok yangmembicarakan organisasi kepemimpinan di bawah. Nama Numfor berasal dari nama pulau dan golongan penduduk asli Pulau Numfor. Penggabungan nama Biak dan Numfor menjadi satu nama dan pemakaiannyasecara resmi terjadi pada saat terbentuknya lembaga dewan daerah di KepulauanSchouten yang diberi nama Dewan daerah Biak-Numfor pada tahun 1959
Tentang sejarah orang Biak, baik sejarah asal usul maupun sejarah kontaknyadengan dunia luar, tidak diketahui banyak karena tidak tersedia keterangan tertulis.Satu-satunya sumber lokal yangmemberikan keterangan tentang asal-usulorang Biak seperti halnya juga pada suku-suku bangsa lainnya di Papua, adalah mite.Menurut mite moyang orang Biak berasaldari satu daerah yang terletak di sebelahtimur, tempat matahari terbit. Moyang pertama datang ke daerah kepulauan inidengan menggunakan perahu. Ada beberapa versi ceritera kedatanganmoyang pertama itu. Salah satu versimite itu menceriterakan bahwa moyang pertama dari orang Biak terdiri dari sepasangsuami isteri yang dihanyutkan oleh air bah di atas sebuah perahu dan ketika air surutkembali terdampar di atas satu bukit yang kemudian diberi nama oleh kedua pasangsuami isteri itu Sarwambo. Bukit tersebut terdapat di bagian timur laut Pulau Biak (disebelah selatan kampung Korem sekarang). Dari bukit sarwambo, moyang pertama itu bersama anak-anaknya berpindah ke tepi Sungai Korem dan dari tempat terakhir inilahmereka berkembang biak memenuhi seluruh Kepulauan Biak-Numfor

SUKU BIAK
Rumah kariwari suku Tobati-Enggros adalah model yang dipilih sebagai bangunan induk Anjungan Papua, selain rumah honay dari suku Dani. Dua bangunan ini digunakan untuk mengenalkan kebudayaan Papua yang beragam, baik suku bangsa, bahasa, adat istiadat, maupun benda-benda budayanya.
Rumah kariwari adalah rumah pemujaan suku Tobati-Enggros yang menghuni tepian Danau Sentani di Kabupaten Jayapura, berbentuk limas segi delapan dengan atap kerucut. Meskipun atap bangunan tidak menggunakan daun sagu seperti di Papua, namun tata bangun secara keseluruhan sesuai dengan kondisi aslinya, baik bentuk maupun lingkungan alamnya. Sebuah danau buatan dengan patung ikan hiu gergaji yang buas serta sebuah perahu Asmat yang panjang dan sempit yang digerakkan oleh delapan orang pendayung merupakan sentuhan suasana aslinya.
para leluhur suku Biak yang diyakini sebagai tetua adat. Salah satu aturan adat yang harus dijalani yakni prosesi adat sebelum warga Biak melangsungkan pernikahan
pembahasan singkat tentang Tradisi Pembayaran Mas Kawin yang dilakukan secara Adat oleh Suku Biak-Papua yang coba saya uraikan dalam tulisan singkat berikut ini, diharapkan dapat memberikan pemahaman serta penjelasan secara garis besar tentang bagaimana cara Masyarakat Adat Suku Biak, dalam mengadakan pembayaran atau penyerahan Mas Kawin menurut Adat atau Tradisi yang sering dilakukan di dalam prosesi penyerahan Mas Kawin pada sebuah acara pernikahan Orang Biak.
Secara khusus, cara/tradisi pembayaran Mas Kawin, menurut bahasa Biak disebut ”ARAREM “. Pembayaran Mas Kawin adalah salah satu tradisi yang tidak dapat diabaikan, karena hal ini adalah konsekwensi dari sebuah perkawinan yang dilangsungkan secara Adat oleh Suku Biak-Papua. Masyarakat Asli Papua tak terkecuali Orang Biak, sangat terikat dengan apa yang disebut adat atau tradisi. Hal tersebut nampak pada cara membayar Mas Kawin yang sering dilakukan di dalam sebuah prosesi penyerahan Mas Kawin.

Tahap Kedua, Pertemuan kedua berbeda dengan pertemuan pertama, karena Pihak Kedua diundang oleh Pihak Pertama ke rumah Pihak Pertama. Maksud pertemuan ini adalah agar Pihak Kedua dapat melihat harta benda yang telah disiapkan oleh Pihak Pertama. Dan jika menurut Pihak Kedua harta benda yang telah dikumpulkan itu sesuai, maka akan disepakati waktu pelaksanaan pembayaran harta atau Mas Kawin tersebut.

Keaneka ragaman budaya bangsa IndonesIa ditunjukan dari adanya berbagai suku bangsa, bahasa daerah dan pola perilaku yang berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah yang lain. Perbedaan ini menunjukan juga bahwa hukum sebagai salah satu unsur kebudayaan, terutama hukum adat, yang mengatur kehidupan tiap masyarakat antara satu daerah dengan daerah lain juga berbeda. Di satu sisi masyarakat menganggap penting untuk tetap mempertahankan nilai-nilai budaya yang dimiliki termasuk didalamnya hukum local (adat), namun tidak jarang disisi lain nilai-nilai budaya tersebut bertentangan dengan peraturan hukum nasional yang diciptakan dan digunakan sejak Indonesia merdeka. Proses perkawinan adat merupakan salah satu aspek budaya yang penting didalam masyarakat yang sudah jelas berbeda tata cara antara suku, derah yang satu dengan yang lainnya. Khususnya masyarakat biasa proses perkawinan adat bersifat sakral dan magis. Dengan demikian maka proses perkawinan adat biak diatur secara hati-hati, sistematis dan penuh kesungguhan yang bertanggung jawab, sebab akibat sanksi hukum adatnya cukup berat bila tidak terproses sebagaimana mestinya.
Orang Biak mengenal beberapa jenis perkawinan adat yang disesuaikan dengan status sosial dan gaya hidupnya. Perkawinan bagi orang biak tidak semata-mata untuk memperoleh keturunan dan pemenuhan biologis akan tetapi berkaitan erat dengan peran dan fungsi yang disandang oleh seseorang dalam kelompok masyarakatnya serta keberlangsungan marga (Keret atau Er).
Jenis-jenis perkawinan adat yang pada umumnya terjadi dikalangan masyarakat biak itu antara lain :

1.      PERKAWINAN MURNI (FARBAKBUK BEKAKU)
Jenis perkawinan ini dipandang sangat terhormat dikalangan masyarakat biak karena memenuhi syarat-syarat utama norma adat byak sebagaimana akan dijelaskan pada Bab II berikut ini, jenis perkawinan ini gampang – sulit terlaksana dikalangan orang byak karena yang dipertaruhkan disini adalah derajat atau harga diri dan kedua pihak keret marga yang bersangkutan langsung dalam proses perkawinan adat tersebut, penonjolan harta kekayaan , kemampuan memberi mas kawin, disiplin dalam soal tepat waktu melunasi maskawin dalam pelaksanaan pesta perkawinan adat yang bersangkutan.
2.      PERKAWINAN KENALAN (FARBAKBUKMANIBOW)
Jenis perkawinan ini adalah sebagal wujud dan tindak lanjut dari niat dua orang yang berkenalan baik, artinya sebagal balas jasa dari kedua kenalan yang saling menguntungkan misalnya ketika salah satu kenalan (teman) yang lain dari himpitan kesulitannya. Dengan demikian, maka kedua kenalan atau teman baik itu berikrar untuk saling mengawinkan anaknya kelak sebagai tanda persahabatan itu agar berlangsung terus. Biasanya proses perkawinannya tidak sama persis seperti proses perkawinan murni (Farbakbuk bekaku) misalnya : Nilai maskwain disesuaikan kemampuan pihak keluarga yang memberi, sedangkan syarat – syarat proses perkawinan adat yang lain tetap harus dipenuhi sebagaimana mestinya.

3.      KAWIN LARI ( PARBAKBUK BEBUR)
Jenis perkawinan ini terlaksana sebagai wujud dari niat seorang laki-laki / atau perempuan tidak direstui oleh pihak keluarga karena pihak keluarga mempunyai calon lain diluar keinginan kedua orang tersebut.
Bila terjadi seperti itu, maka wanita yang bersangkutan mengambil keputusan lari kawin dengan calon suami yang telah menjadi pilihannya dengan penuh resiko. Perkawinan ini disebut Farbakbuk Bin Berbur perempuan yang lari kawin).
Sebaliknya kalau wanita (perempuan) tidak berani lari kawin, maka laki – laki yang mengambil inisiatif merampas wanita tersebut dari keluarganya untuk dijadikan istri, sudah jelas penuh resiko.
Perkawinan ini disebut Farbakbuk Pasposer ( perkawinan karena perampasan), Perkawinan adat, jenis ini prosedurnya jauh berbeda dengan proses perkawinan tersebut diatas karena sifatnya terpaksa dan mengundang emosi keluarga pihak perempuan, maka biasanya maskawin yang diminta oleh pihak perempuan pun mahal (Dua kali lipat) karena sanksi adat.

4.      PERKAWINAN PERGANTIAN TUNGKU (FARBAKBUK KINKAFSR)
Jenis perkawinan ini dapat di setujui kalangan masyarakat adat byak untuk diberlakukan khusus bagi seseorang laki-laki yang apabila istri pertamanya telah meninggal ( Wafat), maka adik kandung yang sudah genap usia kawin, dibenarkan kawin dengan kakak iparnya agar hubungan kekeluargaan yang ada tetap berlangsung terus. Proses perkawinannya, biasanya tidak diacarakan tetapi langsung menjadi istri (Suami – Isteri) artinya cukup dengan mendapat restu dari kedua belah pihak keluarga yang bensangkutan dan maskawinnya terserah dan kepada kemampuan pihak keluarga laki-laki dan tidak dipaksakan.
5.      PERKAWINAN PENGGANTI KORBAN PEMBUNUHAN (FARBAKBUK BIN BABYAK)
Jenis perkawinan ini dikalangan masyarakat byak termasuk perkawinan luar biasa, karena wanita diberikan oleh keluarga pihak pelaku pembunuhan kepada pihak keluarga yang menjadi korban sebagai pengganti dengan maksud agar wanita tersebut kelak dalam perkawinannya melahirkan seorang anak sebagai pengganti korban dan selain dari itu berfungsi sebagai alat perdamaian dan sekaligus mengikat hubungan kekeluargaan diantara kedua keluarga yang bersangkutan serta menghilangkan dendam kusumat.
Proses perkawinan adat ditiadakan termasuk maskawinnya dengan catatan bila dikemudian hari bila melahirkan seorang anak wanita dan ada maskawin, maka maskawinnya separuh / sebagian diberikan kepada keluarga korban sebagai tanda.

6.      PERKAWINAN HADIAH PERAMPASAN SEBAGAI BUDAK (TARBAKBUK WOMEN)
Jenis perkawinan ini ada pada masyarakat byak  “tempo doeloe”, sekarang sudah tidak ada lagi, dan mungkin sekali masih terdapat dikalangan masyarakat didaerah terpencil dipedalaman Papua atau didaerah-daerah terisolir pada lembah-lembah barisan pegunungan tengah Papua. Jenis perkawinan ini dikalangan masyarakat byak “tempo doeloe” terjadi bila marga-marga disuatu kampung menyerang kampung lain karena suatu sebab khusus, sebab khusus itu antara lain:
a)      Kampung itu pernah diserang oleh kampung yang bersangkutan (Balas dendam).
b)      Kampung yang bersangkutan dicurigai sebagai mata-mata yang memudahkan kampung mereka diserang.
c)      Kampung yang bersangkutan dinilai berpeluang potensi ekonomis
d)     Kampung yang bersangkutan dinilai letaknya strategis guna mengatur teknik penyerangan dan darat maupun dan laut.
Pada waktu serangan atau perang suku itu, pihak yang lebih kuat merampas dan membawa pergi secara paksa wanita muda yang belum kawin atau wanita muda yang sudah kawin sebagai hadiah kemenangan untuk kemudian dijadikan istri.
Wanita yang dirampas dalam serangan atau perang suku itu menurut aturan perang suku harus berasal dari tokoh masyarakat kampung yang dikalahkan.
Syarat wajib dalam perang suku masyarakat byak “tempo doeloe” ini diperlukan sebagai :
  1. Pameran kekuatan dan kehebatan dalam teknik perang suku (perang tradisional).
  2. Pameran patriotik, sebagai motifasi kepada generasi muda untuk selalu memiliki jiwa perang (Patriotik) tidak mudah menyerah dan selalu mencontohi leluhur yang selalu pemberani (Mambri)
Mambri adalah orang kuat dalam masyarakat kampung yang selain memiliki keunggulan perang, memiliki sifat dan sikap tidak kenal menyerah dalam kondisi apapun, dan selalu berada pada posisi terdepan dan tidak perlu mundur ketengah dan kebelakang dalam kepemimpinannya, dengan demikian dia adalah “Snon kaku byak (Laki-laki sejati Biak) dengan gelar “Mambri” (Orang Kuat / Strong man).
Proses perkawinan pada jenis perkawinan “ women” (Budak) ini ditiadakan karena tidak ada wali orang tua yang jelas, demikian prosesi perkawinan diatur oleh kesepakatan tua-tua adat dalam kampung kepada siapa wanita yang dirampas (Pasposer) dalam perang suku menjadi kewenangan “Kain – kain karkar Biak” (KKB) Dewan adat mnu (Dewan adat kampung) yang terdiri dari para Mananwir Er (Kepala keret / marga).
Asimilasi
Masalah Papua terletak dalam sudut pandang Jakarta. Memang ada persoalan kompetensi pejabat-pejabat Papua yang mendapat kesempatan setelah otonomi khusus dijalankan, dan nama Papua dikembalikan dari nama Irian Jaya oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Rata-rata sejumlah kepala suku (besar) di Papua mendapatkan posisi, baik di pemerintahan, swasta, perusahaan, maupun perguruan tinggi, sampai jabatan-jabatan lain. Tak aneh kalau Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memasukkan unsur "Papua" sebagai salah satu pertimbangan dalam matrikulasi reshuffle kabinet, sembari "melupakan" etnis Sunda atau Jawa Barat. Masalah ini, lagi-lagi, terkait dengan pola pikir Jakarta atas Papua dan daerah-daerah lain.

Papua memang kesulitan masuk dalam bingkai keindonesiaan, terutama terkait dengan proses asimilasi, misalnya lewat perkawinan antarsuku Melanesia dengan suku Melayu, Jawa, Sunda, dan Batak. Sebaliknya, proses asimilasi terjadi di kalangan suku-suku lain, sehingga "nasionalisme etnis" terkendalikan dalam darah baru keindonesiaan. Sulitnya asimilasi suku-suku Papua dengan suku-suku Indonesia lainnya membuktikan kembali argumentasi Mohammad Hatta, yang memang tidak sepenuhnya mendukung Irian Jaya sebagai bagian dari Indonesia.

Namun, karena Papua secara administrasi sudah lama menjadi bagian dari Belanda dan lalu Indonesia, persoalan kultural bisa dijadikan sebagai unsur penguat, bukan penghambat. Hanya, sampai sejauh ini Papua terlalu didekati sebagai masalah keamanan, ketimbang kesejahteraan. Penyebutan nama "gerakan separatis", misalnya, tidak diimbangi dengan upaya-upaya lain untuk membatasi gerak ekspansi modal ke Papua, yang semakin memperkeruh situasi. Konsesi yang diberikan kepada kaum pemodal di dalam dan luar negeri ternyata menjadi alasan bagi munculnya "gerakan separatis", yang sebetulnya berakar dalam kesenjangan ekonomi.

Ras Melanesia memang sudah diakui eksistensinya di dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua. Bahkan Majelis Rakyat Papua (MRP) dijadikan sebagai lembaga kultural satu-satunya di tingkat provinsi di Indonesia. Masalahnya, MRP menghadapi ganjalan, baik dari sisi regulasi di bawah UU Nomor 21/2001 yang tidak selesai maupun dari luasnya wilayah yang mereka harus wakili. Tetap terus dicatat bahwa luas Papua adalah 3,5 kali Pulau Jawa, dengan infrastruktur yang minim.

Penelitian
Papua adalah lokasi penelitian yang termasuk paling baik di Indonesia. Hasil-hasil penelitian itu sudah dipublikasikan di dalam dan luar negeri. Setiap tahun, selalu saja terbit buku-buku yang bercerita tentang Papua, dari masyarakat, kekayaan alam, sampai penghuni lain berupa hewan dan tumbuhan. Padahal proses penelitian itu belum dimaksimalkan, mengingat keringnya visi riset para pengambil keputusan di Indonesia.

Sejumlah buku menyebutkan besarnya peran tentara dalam proses pembangunan Papua. Lembah Baliem, yang dihuni suku Dani, misalnya, sudah dimasuki pada 1964 lewat Operasi Karya Kodim 1712 dari Kodam XVII/Cenderawasih (Koentjaraningrat: 1993: 297). Para mahasiswa juga dilibatkan dalam proses itu, terutama untuk percepatan di bidang pendidikan. Belakangan proses itu dilakukan secara "normal" oleh pejabat-pejabat pemerintah dan swasta. Akibat yang muncul adalah semakin banyak penduduk dari luar Papua yang masuk ke Papua. Persentasenya diperkirakan sama, 50 persen : 50 persen, dalam waktu dekat.

Masalahnya, apa model yang tepat dalam pembangunan Papua ke depan? Apakah Papua dibangun untuk warga Papua dalam ras Melanesia? Ataukah memang seperti yang dilancarkan sejak Operasi Koteka pada 1975--termasuk pembangunan alat komunikasi sebagai receiver Satelit Palapa--yakni mengejar kesejajaran dengan belahan Indonesia lain? Ataukah Papua dikembangkan dengan model yang berbeda dengan bagian Indonesia lainnya?

Tidak mudah untuk memulai lagi suatu proses pembangunan yang sudah berjalan lama dengan akibat-akibat positif dan negatifnya. Untuk memindahkan barak-barak militer dari lokasi yang berdekatan dan di tengah-tengah penduduk saja sulit. Yang bisa dilakukan adalah evaluasi yang bersifat komprehensif dan multi-aspek. Evaluasi itu dilakukan berdasarkan cetak biru (blueprint) lama menyangkut Papua, baik dari sisi regulasi, ekonomi, sosial, budaya, maupun masalah yang terkait dengan masyarakat internasional.

Apabila blueprint itu tidak ada, dasar perundang-undangan saja tidak cukup, karena terjadinya saling tabrak antar-undang-undang. UU Nomor 21 Tahun 2001, misalnya, membutuhkan undang-undang sektoral di bidang pendidikan dan kesehatan. Kalaupun Presiden SBY sudah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, sifatnya hanya "macan kertas", karena tidak disertai dengan bentuk kelembagaan khusus. Inpres Nomor 5/2007 itu hanya bersifat koordinasi antarkementerian dengan pemerintah provinsi.

Kebudayaan
Papua memang kecil dari sisi jumlah penduduk, tapi besar dari sisi ekonomi, lingkungan hidup, ilmu pengetahuan, luas wilayah, kebudayaan, dan segala sesuatu yang terhubung dengan peradaban. Dan yang menciptakan kebudayaan adalah manusia. Manusia-manusia Papua berada pada sisi paling puncak untuk mengedepankan kemajuan Indonesia dari sisi peradaban itu. Dalam beberapa tahun terakhir, anak-anak Papua sudah berkontribusi dengan sangat fenomenal di sisi ilmu pengetahuan dan olahraga.

Indonesia tidak bisa lagi dianggap enteng dalam Olimpiade fisika dan matematika, karena ada antara lain anak-anak Papua di dalamnya. Di dunia sepak bola, anak-anak Papua memicu euforia tentang Burung Garuda, baik ketika Indonesia kalah, apalagi menang. Sekalipun kecil dari sisi jumlah, nama Indonesia yang dibawa oleh anak-anak Papua berhasil menaikkan posisi yang baik bagi negara yang berpenduduk nomor empat di dunia ini. Keberhasilan anak-anak Papua itu juga diiringi dengan dukungan yang semakin fanatik terhadap masalah-masalah Papua dalam masyarakat Indonesia, terutama ketika berhadapan dengan sentimen "anti atau pro-pemerintah".
Data-data menunjukkan bahwa selama sepuluh tahun terakhir ini tidak ada perubahan berarti dari sisi distribusi penduduk, indeks pembangunan manusia, sampai pemerataan pembangunan. Pulau Jawa kian penuh dengan manusia, karena besarnya jumlah penduduk yang hidup dan bertempat tinggal di sana. Cina, sebagai bangsa, melakukan semacam revolusi kebudayaan untuk mengubah karakternya. Revolusi itu antara lain ditandai dengan proses "penghancuran" kapitalisme, termasuk dengan menyuruh kaum intelektual memegang cangkul ketimbang pena.
Indonesia barangkali tidak perlu melakukan proses yang memakan korban banyak itu. Namun satu strategi kebudayaan perlu disusun atas Papua. Strategi kebudayaan itu disusun berdasarkan pilinan kisah sejarah dan mitologi yang lama tertanam di Indonesia, terutama di Pulau Jawa, tentang perbenturan kekuasaan. Dengan memasukkan Papua sebagai bagian dari strategi kebudayaan itu, mau tidak mau Jakarta perlu memikirkan bagaimana menempatkan manusia dan tanah Papua dalam bingkai kehidupan Indonesia di masa mendatang.

Apakah akan semakin banyak migrasi manusia Melayu berambut lurus dan berkulit sawo matang ke daerah-daerah yang ditinggali manusia-manusia Papua berambut keriting dan berkulit hitam itu? Bagaimana pola asimilasi yang dilakukan, berikut antisipasi atas proses akulturasi yang terjadi pada ras Melanesia? Pertanyaan-pertanyaan besar dan mewah ini tidak bisa hanya didiskusikan menjadi produk kebijakan yang bersifat ad hoc, tapi juga tersusun rapi dalam bentuk yang paling akademis berupa platform yang disusun oleh para ahli.

Saya yakin, pada akhirnya akan semakin banyak orang Indonesia di tanah Jawa yang sudah saling-silang secara genetika dan kebudayaan yang di kemudian hari datang ke Papua. Nah, masalahnya, apakah tempat yang nanti menjadi masa depan Indonesia itu adalah wilayah yang sudah luluh-lantak, sebagaimana nasib para Aborigin akibat kolonialisme perbudakan bangsa-bangsa Eropa di Australia atau di Amerika Serikat? Indonesia wajib menunjukkan keberadabannya dibandingkan dengan sejarah masa lalu bangsa-bangsa Eropa itu. Dan cara satu-satunya adalah serius dengan masalah-masalah Papua serta berpikir besar dan humanistik dalam menyelesaikannya....

 Islam Beri Perubahan Budaya Muslim Wamena 

JaYAPURA—Nilai-nilai ajaran Islam memberi perubahan yang cukup signifikan pada budaya masyarakat Muslim di Wamena, Kabupaten Jayawijaya.
Hal ini diakui Koordinator Muslim Wamena yang bermukim di Angkasa, Kota Jayapura, H.Robi W.Asso di Jayapura, Selasa menanggapi perkembangan Islam dan umat Muslimin di Wamena.
"Harus diakui bahwa tidak mudah mengubah kondisi sosial kultur masyarakat Wamena yang telah berakar agar sesuai dengan tuntunan Syariat Islam," ujarnya.
Namun demikian lanjutnya, perubahan pola hidup yang sesuai dengan ajaran Islam adalah suatu keniscayaan yang harus dilakukan setiap Muslim. Oleh sebab itu, banyak upaya telah ditempuh untuk merealisasikan hal tersebut.
"Kami mulai dari generasi muda, yakni anak-anak kami asramakan, kami didik dan bina mereka secara pelan-pelan dengan nilai-nilai Islam yang langsung dilakukan dalam hidup keseharian," jelas Robi.
Setelah itu, generasi orang tua pun lambat laun ikut dalam perubahan kehidupan yang tercermin dari tingkah laku dan sikap anak-anak mereka secara Islami.
Dicontohkannya perubahan tersebut tampak pada penghargaan masyarakat Wamena sebagai bagian dari komunitas pegunungan Papua atas kepemilikan babi yang dinilai sangat tinggi. Menurut Robi, nilai babi yang tinggi bagi masyarakat Wamena ditunjukkan dengan kenyataan bahwa jika seorang lelaki tidak memiliki hewan itu, maka dirinya tidak akan pernah bisa menikah. Tapi kondisi itu telah berubah dengan digantinya babi dengan binatang ternak lainnya yang dihalalkan dalam Islam yakni sapi dan kambing. "Di kampung kami, babi kini sudah tidak lagi dipelihara karena masyarakat sudah menggantinya dengan sapi atau kambing," jelas Robi.
Islam masuk pertama kali di Kabupaten Jayawijaya sekitar 1968 hingga 1969 lalu, tepatnya di Kampung Walesi. Kini Islam telah berkembang di 13 kampung di Wamena dan sudah berdiri tujuh masjid serta sejumlah musholla.(ant)


1.         Bahasa DaerahAdapun bahasa yang digunakan sehari-hari dalam kehidupan masyarakat yang tersebar di 19 (sembilan belas) wilayah kecamatan/distrik di Kabupaten Biak Numfor adalah Bahasa Indonesia. Bahasa Biak digunakan penduduk asli di 19 (sembilan belas) kecamatan/distrik yang sama, hanya dibedakan oleh dialek bahasa. Masyarakat Biak Numfor mempunyai potensi yang besar dalam sosial budaya seperti seni suara, seni ukir, adat-istiadat dan objek wisata yang dapati kembangkan sebagai daya tarik wisata bagi wisatawan domestik dan mancanegara.
2.          Rumah Adat
a.          Rum Som
        Rum Som merupakan rumah kehuarga luas yang didiami ayah dan ibu senior dengan anak laki-laki mereka yang sudah kawin. Disebut Rumsom sebab atapnya yang berbentuk kulit penyu, bagian depannya yang menjulur keluar memberi kesan “mengambang” karena tidak ditopang oleh tiang penyangga.
b.          Rum Sram
        Rum Sram adalah rumah pemuda. Rumah ini dibangun untuk menampung anak-anak lelaki yang sudah saatnya tidak boleh tidur bersama orang tuanya di dalam bilik keluarga di Rum Som (rumah keluarga).
3.            Perahu Tradisional Biak
         Terdapat 2 (dua) jenis perahu besar yang cukup terkenal di Biak Numfor yaitu “Manjur” (perahu dagang) dan “Wai roon” (perahu perang). Dengan perahu Mansusu orang Biak mengadakan penjelajahan jauh sampai ke Tidore dan Ternate serta Negara-negara asing lainnya. Dengan perahu Wai roon orang Biak mengadakan perang suku dengan suku-suku lain dan menangkap budak-budak.
4.            Kesenian
a.       Seni Musik Daerah
Musik tradisional Biak Numfor disebut Wor yaitu puisi Biak yang dinyanyikan dengan tangga nada pentatonik 1 (do), 2 (re), 3 (mi), 5 (sol) dan 6 (la). Wor Biak tidak mengenal 4 (fa) dan 7 (si). Struktur puisi Wor terdiri dari 2 bait yang disebut Kadwor (puncak) dan Fuar (pangkal).
Tercatat sekitar 18 jenis lagu Wor Biak antara lain Kankarem, Moringkin, Kansyaru, Wonggei, Disner, Nambojaren, Erisam, Dow Arbur, Dow Mamun, Armis, Aurak, Dow Beyor Warn, Dow Bemun Warn, Kawop, Urere, Randan dan Beyuser.
Nyanian Wor biasanya diiringi alat music” Sireb” atau Sandip yakni alat musik Tifa.
b.      Seni Ukir Daerah
Seni ukir daerah yang dengan gaya Karwamya, selama ini hanya menjadi penghuni museum luar negeri. Dengan munculnya seni ukir Asmat yang terkenal di dunia internasional, mendorong pengukir muda berbakat asal Biak kembali mengabdikan karya seni nenek moyang dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat adat Biak Numfor.
c.       Seni Kerajinan Rakyat
Beberapa seni kerajinan rakyat Biak yang menonjol antara lain :
- Kerajinan kerang hias;
- Kerajinan anyam-anyaman;
- Pengrajinan lainnya.
5.         Seni Tari Daerah
Di Kabupaten Biak Numfor, terdapat aneka tari daerah yang menarik dan memikat. Tari-tarian tersebut berupa Tari Kankarem (Tari Pembukaan), Tari Mamun (Tari Perang), Tari Akyaker (Tari Perkawinan) dan lain-lain yang diiringi dengan lagu-lagu wor Biak.
Disamping tari tradisional diatas, terdapat pula dua jenis tarian Biak versi baru yakni Tari Pancar dan Tari Mapia. Tari Pancar yang saat ini popular dengan nama Yospan (Yosimpancar) diciptakan sekitar awal tahun 1960-an oleh seniman Biak. Tarian ini tidak dikenal disaat terjadinya konfrotasi antara Belanda dan Indonesia soal Irian Barat ( Papua).
Tarian ini diiringi oleh lagu-lagu pancar diantonis yang menggunakan alat musik Gitar, Stringbass, dan Ukulele. Tari Mapia merupakan tari kreasi baru yang berasal dari pulau-pulau Mapia. Tarian ini diciptakan sekitar tahun 1920-an dan diperkenalkan ke Biak oleh orang-orang Kinmon, Saruf, dan Bariasba.


6.         Upacara Tradisional Biak
Upacara tradisional Biak atau pesta adat Biak disebut Wor atau Munara, yang dilaksanakan untuk melindungi seorang individu yang beralih peran dari satu peran sosial sebelumnya ke peran sosial berikutnya.
Orang-orang tua Biak mengatakan “Nggo Wor Baindo Na Nggo Mar” (tanpa upacara/pesta adat kami akan mati). Dengan demikian, maka dalam segala aspek kehidupan sosial suku Biak selalu diwarnai dengan upacara adat.

Jenis upacara adat Biak yang dapat diurutkan sebagai berikut :
- Munara Kafko Ibui, Kinsasor (Menembak dengan anak panah dan busur);
- Munara Sababu (upacara membawa turun);
- Munara Famamar (upacara mengenakan cawat (marj), dan sraikir kneram (melubangi telinga);
- Munara Panani Sampar (mengenakan manset yang dibuat dari kulit kerang);
- Munara Kapapknik (upacara cukur rambut);
- Munara Sraikir Snonikor (upacara melubangi sekat hidung);
- Munara Pananai Mansorandak (mencuci muka, dengan didahului dengan busur yang dibentang);
- Karindanauw (upacara pertunangan);
- Munara Yakyaker Farbakbuk ( upacara perkawinan);
- Worak atau Wor Mamun (upacara perang);
- Kafkofer Afer atau Afer (melemparkan kapur = mengikat perdamaian);
- Wor saso atau Myow Rum Babo (tarian pencobaan untuk rumah baru);
- Kankanes Ayob atau Munabai (ratapan untuk mati);
- Farbabei (menyematkan atau menggantungkan tanda mata);
- Panamnomes Romawi (penghancuran warisan);
- S’panggung Bemarya (orang membungkus mayat);
- S’erak I (pemakaman di tepi karang);
- Wor Ras Rus (menggali tulang orang mati untuk dikuburkan kembali);
- Worwarek Marandan (melindungi sanak saudara yang sedang dalam perjalanan dengan nyanyian).;

Sumber:


Tidak ada komentar:

Posting Komentar